Gerakan Anti Swapraja adalah sebuah gerakan sosial-politik yang muncul pada masa awal kemerdekaan Indonesia (1945-1950an) yang menentang keberadaan dan kekuasaan daerah swapraja atau zelfbestuuren.
Daerah Swapraja adalah bekas wilayah kerajaan, kesultanan, atau keadipatian yang memiliki otonomi khusus di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Penguasa daerah ini (seperti sultan, raja, atau adipati) mempertahankan tahta dan kekuasaan tradisional mereka dengan menjadi bagian dari struktur administrasi kolonial. Setelah proklamasi kemerdekaan, keberadaan daerah-daerah ini dianggap tidak sesuai dengan semangat republik yang demokratis dan egaliter.
Latar Belakang dan Penyebab Gerakan
Gerakan ini muncul karena beberapa faktor utama:
Benturan dengan Semangat Revolusi dan Republik:
Indonesia memproklamirkan diri sebagai Republik, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Sistem swapraja dianggap sebagai benteng feodalisme yang oligarkis, dimana kekuasaan diwariskan berdasarkan keturunan, bukan dipilih oleh rakyat.
Kaumat revolusioner, pemuda, dan intelektual menginginkan sebuah negara kesatuan yang modern dan merdeka, bebas dari sisa-sisa struktur kolonial dan feodal.
Keterlibatan dalam Sistem Kolonial:
Banyak penguasa swapraja dianggap sebagai kaki tangan Belanda (kolaborator). Mereka mendapatkan kekuasaan dan hak istimewa mereka justru karena didukung oleh pemerintah kolonial. Setelah Belanda pergi, loyalitas mereka dipertanyakan.
Penindasan dan Eksploitasi Sosial-Ekonomi:
Sistem swapraja seringkali menindas rakyat kecil. Rakyat dibebani oleh berbagai kewajiban feodal seperti kerja rodi, pungutan wajib (upeti), dan kewajiban adat yang memberatkan.
Penguasa swapraja hidup dalam kemewahan, sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Ketimpangan sosial-ekonomi ini memicu kemarahan.
Upaya Belanda Mempertahankan Swapraja via RIS:
Belanda, melalui Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, berusaha mempertahankan keberadaan swapraja sebagai negara bagian atau daerah otonom. Ini dilihat sebagai strategi Belanda untuk memecah belah Indonesia. Gerakan anti swapraja menjadi bagian dari perjuangan menentang federalisme (RIS) dan memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejarah Singkat dan Perkembangan
Masa Revolusi (1945-1949): Gerakan ini mulai muncul di berbagai daerah, terutama di luar Jawa. Aksi-aksi berupa demonstrasi, pemogokan, dan pengambilalihan aset-aset swapraja oleh rakyat sering terjadi. Pemerintah Republik di Yogyakarta menghadapi dilema: di satu sisi mendukung semangat anti-feodal, di sisi lain membutuhkan dukungan dari penguasa lokal dalam perjuangan melawan Belanda.
Puncaknya (1950-an): Setelah pembubaran RIS dan kembali ke NKRI pada 1950, tekanan untuk menghapus swapraja semakin kuat. Pemerintah Pusat, di bawah Perdana Menteri, mulai menerbitkan undang-undang untuk mengintegrasikan daerah swapraja ke dalam administrasi Republik.
Peran Sentral TNI-AD: Tentara (TNI-AD) seringkali menjadi aktor kunci dalam mendukung gerakan rakyat melawan swapraja. Mereka turun tangan untuk "mengamankan" daerah dan memaksa penguasa swapraja melepas kekuasaannya.
Bentuk-Bentuk Perlawanan dan Akhir dari Swapraja
Gerakan anti swapraja mewujud dalam berbagai bentuk:
Demonstrasi dan Protes: Rakyat dan organisasi pemuda menggelar unjuk rasa menuntut pembubaran swapraja.
Pembentukan Lembaga Tandingan: Rakyat mendirikan "Dewan Rakyat" atau "Badan Perjuangan" untuk mengambil alih fungsi pemerintahan dari tangan raja.
Intervensi Pemerintah Pusat: Pemerintah mengeluarkan peraturan yang menghapus status khusus daerah swapraja. Yang paling penting adalah:
UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini menghapuskan semua daerah swapraja dan menyeragamkannya menjadi Kabupaten atau Kotapraja di bawah pemerintah daerah yang dipilih.
UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (yang kemudian diganti UU No. 5 Tahun 1974). UU ini semakin memperkuat struktur pemerintahan daerah yang seragam di seluruh Indonesia.
Proses integrasi ini tidak selalu mulus. Di beberapa daerah seperti Bali, Sumatra Timur, dan Sulawesi Selatan, proses penghapusan swapraja berlangsung tegang dan bahkan berdarah, karena para raja dan bangsawan mempertahankan hak-hak istimewa mereka.
Dampak dan Warisan
Terbentuknya NKRI yang Utuh: Gerakan ini berhasil menghapus salah satu penghalang terbesar terwujudnya negara kesatuan yang homogen secara administratif.
Penghapusan Sistem Feodal: Kewajiban-kewajiban feodal seperti kerja rodi dan upeti dihapuskan, membebaskan rakyat dari beban ekonomi dan sosial yang memberatkan.
Modernisasi Birokrasi: Pemerintahan daerah didasarkan pada birokrasi modern, bukan lagi pada garis keturunan.
Konflik Sosial: Proses ini meninggalkan luka dan ketegangan sosial di beberapa daerah, khususnya bagi kalangan bangsawan tradisional yang kehilangan status dan kekuasaannya.
Warisan Budaya yang Terpisah dari Kekuasaan: Meski kekuasaan politik raja dihapus, banyak institusi budaya seperti kesultanan dan kerajaan tetap bertahan sebagai lembaga budaya yang melestarikan adat dan tradisi, tanpa kekuasaan politik lagi. Misalnya, Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta yang mendapatkan status Istimewa melalui perundingan khusus.
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments